Rabu, 20 Juli 2011

Pembuka Aib

Itulah kata pertama pada judul sebuah berita yang ditulis di kompas hari ini (20 Juli 2011). Pada baris kedua dari judul ditulis "Disepakati Penguatan Perlindungan" dan dimuat dihalaman 2 pada rubrik Politik&Hukum. Kalaupun boleh digabungkan mungkin bunyinya akan seperti ini PEMBUKA AIB Disepakati Penguatan Perlindungan.
Dengan judul seperti itu yang ada dalam pikiran saya adalah arti yang berbeda, yaitu adanya kesepakatan untuk menguatkan pemberian perlindungan bagi pembuka aib -dan entah mengapa kompas lebih memblowup istilah ini-. Bila dilihat dari isi beritanya adalah berita tentang adanya kesepakatan dari enam lembaga aparat penegak hukum di Indonesia untuk memperkuat perlindungan kepada justice collaborator atau pelaku kejahatan yang mau kerjasama dalam mengungkap kejahatan. Langkah ini penting untuk membongkar kejahatan terorganisir yang selama ini sulit dideteksi dengan prosedur biasa.
Yang menarik adalah tulisan pada paragraf keempat yang berbunyi "Harifin A Tumpa menjelaskan, whistle blower (pembuka aib) sebagai justice collaborator.........". Saya tidak akan masuk dalam istilah whisteblower dan justice collabor, saya hanya fokuskan pada kata whistleblower sebagai pembuka aib yang digambarkan oleh Ketua Mahkamah Agung tersebut, jadi menurut saya ini lebih menarik. Memang sebelumnya telah ada beberapa definisi untuk menggambarkan seorang whistleblower seperti peniup peluit, pemukul kentongan maupun peniup terompet yang juga dikeluarkan oleh para petinggi lembaga, seperti KPK, Satgas PMH dan LPSK. Tapi baru definisi sebagai pembuka aib ini yang menurut saya sedikit berbeda "rasa" dengan istilah lain-atau mungkin karena muncul sebagai istilah paling baru-.
Alasan bahwa definisi ini cukup manarikuntuk ditinjau kembali pertama karena kata pembuka aib langsung berkonotasi dengan hal negatif. Dalam pendidikan etika dan agama, aib adalah sesuatu yang sudah seharusnya disembunyikan. Seperti dalam ajaran agama Islam diajarkan kepada umatnya untuk lebih menjaga kepercayaan dengan tetap menjaga rahasia dan tidak membuka aib sesama saudara. Dengan membuka aib sesama saudara maka berarti kita akan menyakitinya dengan cara mempermalukan dia, dan saya tidak merasa perlu untuk menjelaskan apa hukumnya bagi orang yang menyakiti orang lain karena fokus kita bukan disitu. Yang pasti bahwa konotasi pembuka aib dipandang dari sisi ini bisa dikatakan sebagai "orang yang tidak baik".
Kedua masih terkait dengan konotasi negatif dari kata pembuka aib ini yang bertentangan dengan pasal 10 ayat (3) UU No.13 Tahun 2006 yang berbunyi "Ketentuan dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap Saksi, Korban dan Pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan iktikad baik". Kontradiksi terjadi antara kata pembuka aib (yang berkonotasi negatif) dengan kata iktikad baik. Tentu saja dalam bahasa umum yang sering dipahami sebagai bahasa awam ketika seseorang telah membuka aib orang lain sudah pasti tidak ada iktikad baik didalamnya.
ketiga, kata pembuka aib juga berbeda "rasa" dengan kata peniup terompet, peniup peluit ataupun pemukul kentongan. Rasa yang dikeluarkan oleh istilah peniup terompet, peniup peluit maupun pemukul kentongan adalah rasa yang positif yaitu mereka sebagai pemberi tanda atau peringatan. Sementara pembuka aib adalah rasa "negatif" karena sudah semestinya aib itu disembunyikan. Mungkin perlu sedikit dibedakan bahwa sebenarnya kata aib dan pidana itu tidaklah dalam ranah yang sama, yang artinya bahwa tindakan yang menimbulkan aib dengan tindakan pidana itu adalah satu hal yang berbeda. Keduanya harus difahami dalam konteks yang berbeda pula.
Semoga saja apa yang di istilahkan Ketua Mahakamah Agung tersebut bukanlah sebuah sikap pesimistis terhadap tujuan untuk memberikan perlindungan kepada wistleblower yang juga sebagai justice collabor. Penggambaran mereka sebagai pembuka aib, semoga tidak menjadi label negatif bagi para wistleblower yang juga justice collabor dalam lingkungan pengadilan. Semoga.

1 komentar:

  1. tulisanya bagus... mohon ijin me-link-kan.. terimakasih

    BalasHapus