Selasa, 26 Juli 2011

Seandainya sistem Conviction-in Time di berlakukan di Indonesia

Beberapa teori yang berkaitan dengan sistem pembuktian, yang berguna untuk memahami sekaligus dapat dipergunakan untuk membandingkannya dengan sistem pembuktian yang di atur dalam KUHAP kita. Salah satunya adalah teori Conviction-in Time. Teori merupakan sistem pembuktian yang menentukan salah tidaknya sorang terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian "keyakinan" hakim. Darimana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Hakim bisa saja menarik kesimpulan setelah memeriksa dan meneliti alat-alat bukti yang ada, atau bisa juga mengabaikannya dan langsung menarik sebuah kesimpulan berdasarkan keyakinannya. Tentu saja sistem memiliki kelemahan yaitu pembuktian yang cukup dapat dikesampingkan oleh keyakinan hakim. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan Sehingga dalam sistem ini keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian.
Jika teori ini dipakai dalam sistem pembuktian di Indonesia, sudah bisa ditebak tidak ada hakim yang miskin. Hakim telah menjadi Tuhan, dan keputusan hakim tidak ada yang perlu pembuktian, asal dia yakin dengan kesimpulannya. Kalau hakim mempunyai wewenang sebegitu besar, dengan mental masyarakat Indonesia saat ini bisa dipastikan, hukum adalah milik penguasa. Penguasa yang akan menentukan arah kehidupan berbangsa dan bernegara bahkan sampai ke personal masing-masing warga negara.

Corpus Iuris Civilis

Adalah hukum Romawi pada pertengahan abad VI Masehi dari Justianus yang berlaku di Perancis bagian selatan, sebelum mempunyai kodifikasi sendiri. Corpus Iuris Civilis pada zaman itu diangap sebagai hukum yang paling sempurna, yang terdiri dari empat bagian yitu
1. Codex Justiniani berisi himpunan atau kumpulan
2. Pandecta memuat himpunan pendapat para ahli hukum Romawi termasyhur (gaius,Papinianus, Paulus, Modestinus dan sebagainya)
3. institutiones berisi tentang pengertian lembaga-lembaga hukum Romawi
4. Novelles berisi tentang kumpulan undang-undang yang dikeluarkan sesudah codex.

Kamis, 21 Juli 2011

Mendamba Sosok Pemimpin Negeri

Kali ini saya menulis tidak berdasarkan berita di koran, tapi berdasarkan obrolan dengan seorang kolega kemarin. Saat itu kolega saya menyarankan untuk ikut menulis dengan tema mengapa kenaikan harga-harga saat ini sulit untuk dikendalikan. Karena ilmu ekonomi hanya saya dapat sampai sekolah menengah saja, ya saya tidak tahu harus menjawab apa tentang fenomena tersebut dari sudut pandang ekonomi. Tapi karena masih terpikir ada celah untuk menjawab berupa kata "..sulit untuk di kendalikan", maka saya pun menjawab saya tidak tertarik untuk menulis tema tersebut.
Kolega saya sedikit agak terkejut mendengar jawaban saya dan dilanjutkan dengan menanyakan alasan keengganan menulis dengan tema tersebut. Jawaban yang saya berikan padanya karena tema tersebut langsung terbaca negatif dipikiran saya dan ujungnya membuat mindsetnya menjadi pesimistis ketika mendengar kata "...sulit untuk di kendalikan". Dia tambah bingung, apa hubungannya?
Saya hanya bisa menjawab,
Pertama kata "...sulit dikendalikan" menurut saya adalah kata yang hanya diucapkan oleh orang-orang yang hampir putus asa karena tidak mampu melakukan sesuatu dalam upaya pencegahan. Meskipun kata sulit masih mengandung kemungkinan untuk bisa dilakukan, tapi hal tersebut bagi saya menggambarkan keadaan diri seseorang -yang mengucapkan kata tersebut-sebagai orang yang sudah putus harapan, sebagai orang yang tidak merasa telah tidak mampu untuk merubah keadaan disekelilingnya untuk menjadi lebih baik.
Kedua adalah kata "kendali". Kata kendali dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah merujuk pada pemerintah. Kenapa langsung menembak pada pemerintah? Karena memang pemerintahlah yang diberikan kewenangan untuk mengendalikan gerak langkah bangsa. Pemerintah adalah satu-satunya organ yang mempunyai otoritas dalam arti kekuasaan yang luas dalam mengendalikan bangsa.
Lalu apa hubungannya "harga-harga sulit dikendalikan" dengan pemerintah?Hubungan yang sangat mudah untuk diterjemahkan. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan pengendalai gerak roda kehidupan berbangsa dan bernegara mempunyai fungsi kontrol besar dalam menjalankan berbagai dinamika kehidupan di masyarakat. Sementara kata "kenaikan harga yang sulit dikendalikan" menunjuukan bahwa pemerintah telah -kalau boleh dibilang- gagal atau tidak mampu menjalankan fungsi kontrolnya.
Dan sekali lagi ketika harus berbicara ataupun menulis sesuatu tentang keburukan pemerintah, langsung membuat urat tengkung di leher saya mengeras. Saya bukan orang pertama dan bukan pula satu-satunya orang yang menyimpan tentang kesan kurang baiknya pemerintah ini. Jadi inti dari saya tidak mau menulis tentang "kenaikan harga yang sulit dikendalikan" adalah karena saya tidak mau menambah rentetan keluhan masyarakat tentang kinerja pemerintah yang dinilai tidak berhasil dan tetap saja tidak ada perubahan dari pemerintah. Cukup saya tahu saja, pemimpin seperti apa yang saya punya saat dan terus membayangkan pemimpin ideal seperti apa yang saya kira mampu mengatasi masalah negeri ini. Atau mungkin saja perlu Ahmad Dinejad dan Moammar Khadafi dibawa ke negeri ini supaya kita belajar bagaimana menjadi negara yang bangga atas diri bangsa sendiri. Tidak perlu bermimpi seperti Hitler ataupun Mussolini, kita sudah puya Gadjah Mada yang bermimpi menyatukan nusantara ini. Lalu apa mimpi pemimpin negara kita saat ini??? waallohu 'alam.. Hanya Tuhan dan dia yang tahu.

Rabu, 20 Juli 2011

Tempo Dulu & Kini

Judul ini muncul pada halaman 9 Media Indonesia yang terbit hari ini (21/7/2011) yang bercerita tentang Tugu Kemerdekaan yang berada di Jln. Pahlawan, Kelurahan Nun Baun Delha, Kupang Nusa Tenggara Timur. Tugu Kemerdekaan dengan tinggi 10 meter dengan desain awal yang cukup menarik yaitu terdiri dari lima tingkatan yang melambangkan sila dari Pancasila dan ditulis dalam setiap tingkatan, dan dipuncak tugu juga terdapat tulisan teks Sumpah Pemuda. Namun dalam perkembangannya kedua tulisan itu mulai memudar dan menghilang. Pada 17 Agustus tahun ini tugu itu akan berusia 54 tahun. Menjelang peringatan 17 Agustus, tugu mulai dibersihkan dan dicat ulang, namun sayang setelahnya banyak orang iseng mencorat-coret tugu dengan cat. Begitulah kurang lebih isi berita.
Memang tidak dipungkiri dan sudah banyak sekali bukti bahwa masyarakat kita sudah mulai sedikit melupakan sejarah, setidaknya hal ini terlihat dari kondisi seja. Banyak situs sejarah seperti Tugu Kemerdekaan di Kupang yang bernasib sama. Seperti kata Sejarawan Universitas Ne­geri Medan (Unimed), Erond Damanik, di Medan, Kamis, mengatakan, Sumatera Utara sedikitnya memiliki delapan situs utama yakni Situs Karus, Padang Lawas, Putri Hijau, Kota China, Kota Ren­tang, Pulau Kampai, Kilang Minyak Pangkalan Brandan. “Termasuk bangunan-ba­ngunan bersejarah peninggalan kolonial Belanda yang tersebar di beberapa kota di daerah itu. Namun sayangnya dari delapan situs utama yang terdapat di Sumatera Utara, semuanya hampir terabaikan begitu saja tanpa adanya perhatian yang serius dari berbagai pihak,” katanya (http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=4701:delapan-situs-sejarah-kurang-terawat&catid=7:rantau&Itemid=72). Bukan hanya terjadi di Sumatera Utara, di Aceh peninggalan kerajaan Hindhu-Budha seperti situs Indra Purwa, Indra Patra, dan Indra Puri juga tidak ditangani secara maksimal ( http://arsip.jurnalparlemen.com/news/sosial-budaya/situs-sejarah-di-aceh-kurang-terawat.html), dan benteng peninggalan Belanda yang dibangun tahun 1785 didesa Kalimook, Kalianget, Sumenep, Madura juga tidak terawat dengan baik (http://www.kabarmadura.com/benteng-bersejarah-kalimook-kurang-terawat.html). Fenomena ini tidak hanya terjadi didaerah tersebut, tapi hampir menyeluruh di pelosok negeri ini, situs-situs sejarah tersebut banyak yang tidak terawat dengan baik.
Rasa kecewa dan sedih mungkin muncul saat memperhatikan fakta tersebut. Kita pasti masih ingat ungkapan Jas Merah yang artinya Jangan Pernah Melupakan Sejarah. Bukan ingin mendiskritkan bahwa masyarakat sekarang sudah mulai melupakan sejarah, tapi kondisi memprihatinkan terhadap berbagai situs sejarah yang seolah sudah tidak mempunyai nilai lagi dimasyarakat lebih menyakitkan rasa kebangsaan. Coretan-coretan yang dengan mudah kita temukan dalam bangunan situs-situs sejarah tersebut setidaknya membuktikan bahwa bangunan yang memperingatkan kita akan peristiwa penting dimasa lalu, sudah dianggap sebagai onggokan bangunan yang tidak berharga.
Semoga itu hanyalah sebuah kekhawatiran belaka atas terdegradasinya nilai-nilai kebangsaan di masyarakat. Semoga hal tersebut juga bukan berarti bahwa nilai-nilai kebangsaan tidak lagi menjadi pegangan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara.

Pembuka Aib

Itulah kata pertama pada judul sebuah berita yang ditulis di kompas hari ini (20 Juli 2011). Pada baris kedua dari judul ditulis "Disepakati Penguatan Perlindungan" dan dimuat dihalaman 2 pada rubrik Politik&Hukum. Kalaupun boleh digabungkan mungkin bunyinya akan seperti ini PEMBUKA AIB Disepakati Penguatan Perlindungan.
Dengan judul seperti itu yang ada dalam pikiran saya adalah arti yang berbeda, yaitu adanya kesepakatan untuk menguatkan pemberian perlindungan bagi pembuka aib -dan entah mengapa kompas lebih memblowup istilah ini-. Bila dilihat dari isi beritanya adalah berita tentang adanya kesepakatan dari enam lembaga aparat penegak hukum di Indonesia untuk memperkuat perlindungan kepada justice collaborator atau pelaku kejahatan yang mau kerjasama dalam mengungkap kejahatan. Langkah ini penting untuk membongkar kejahatan terorganisir yang selama ini sulit dideteksi dengan prosedur biasa.
Yang menarik adalah tulisan pada paragraf keempat yang berbunyi "Harifin A Tumpa menjelaskan, whistle blower (pembuka aib) sebagai justice collaborator.........". Saya tidak akan masuk dalam istilah whisteblower dan justice collabor, saya hanya fokuskan pada kata whistleblower sebagai pembuka aib yang digambarkan oleh Ketua Mahkamah Agung tersebut, jadi menurut saya ini lebih menarik. Memang sebelumnya telah ada beberapa definisi untuk menggambarkan seorang whistleblower seperti peniup peluit, pemukul kentongan maupun peniup terompet yang juga dikeluarkan oleh para petinggi lembaga, seperti KPK, Satgas PMH dan LPSK. Tapi baru definisi sebagai pembuka aib ini yang menurut saya sedikit berbeda "rasa" dengan istilah lain-atau mungkin karena muncul sebagai istilah paling baru-.
Alasan bahwa definisi ini cukup manarikuntuk ditinjau kembali pertama karena kata pembuka aib langsung berkonotasi dengan hal negatif. Dalam pendidikan etika dan agama, aib adalah sesuatu yang sudah seharusnya disembunyikan. Seperti dalam ajaran agama Islam diajarkan kepada umatnya untuk lebih menjaga kepercayaan dengan tetap menjaga rahasia dan tidak membuka aib sesama saudara. Dengan membuka aib sesama saudara maka berarti kita akan menyakitinya dengan cara mempermalukan dia, dan saya tidak merasa perlu untuk menjelaskan apa hukumnya bagi orang yang menyakiti orang lain karena fokus kita bukan disitu. Yang pasti bahwa konotasi pembuka aib dipandang dari sisi ini bisa dikatakan sebagai "orang yang tidak baik".
Kedua masih terkait dengan konotasi negatif dari kata pembuka aib ini yang bertentangan dengan pasal 10 ayat (3) UU No.13 Tahun 2006 yang berbunyi "Ketentuan dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap Saksi, Korban dan Pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan iktikad baik". Kontradiksi terjadi antara kata pembuka aib (yang berkonotasi negatif) dengan kata iktikad baik. Tentu saja dalam bahasa umum yang sering dipahami sebagai bahasa awam ketika seseorang telah membuka aib orang lain sudah pasti tidak ada iktikad baik didalamnya.
ketiga, kata pembuka aib juga berbeda "rasa" dengan kata peniup terompet, peniup peluit ataupun pemukul kentongan. Rasa yang dikeluarkan oleh istilah peniup terompet, peniup peluit maupun pemukul kentongan adalah rasa yang positif yaitu mereka sebagai pemberi tanda atau peringatan. Sementara pembuka aib adalah rasa "negatif" karena sudah semestinya aib itu disembunyikan. Mungkin perlu sedikit dibedakan bahwa sebenarnya kata aib dan pidana itu tidaklah dalam ranah yang sama, yang artinya bahwa tindakan yang menimbulkan aib dengan tindakan pidana itu adalah satu hal yang berbeda. Keduanya harus difahami dalam konteks yang berbeda pula.
Semoga saja apa yang di istilahkan Ketua Mahakamah Agung tersebut bukanlah sebuah sikap pesimistis terhadap tujuan untuk memberikan perlindungan kepada wistleblower yang juga sebagai justice collabor. Penggambaran mereka sebagai pembuka aib, semoga tidak menjadi label negatif bagi para wistleblower yang juga justice collabor dalam lingkungan pengadilan. Semoga.